PROFILE PHOTOSHOOT

Sabtu, 09 Februari 2013

Sidik Kadarsyah Dulu Cleaning Service Kini PR Manager



Menjadi public relations manager sebuah hotel tak pernah ada dalam kamus hidupnya karena ia hanya tamatan Aliyah (setingkat dengan SMA) di Cirebon, Jawa Barat. Siapa sangka jika pria yang mengawali karir sebagai cleaning service sebuah mall ini sukses menaklukkan Jakarta karena kini, ia menjabat sebagai PR Manager Hotel Acacia, Jakarta.
“Buatku pribadi, ada kenikmatan tersendiri menjadi PR karena bisa kenal banyak orang dengan latar belakang yang berbeda dan juga wawasan ilmu yang tambah banyak. Bagaimana mengcreate satu event pun menjadi tantangan tersendiri buatku, karena memang sebelumnya tidak pernah melakukan itu. Apalagi, ilmu tentang PR yang aku miliki ini tidak didapatkan secara formil, melainkan otodidak dan training yang aku ikuti,” ungkap Sidik Kadarsyah. Di sela-sela pekerjaannya, ayah 2 anak berbagi pengalaman hidupnya kepada Wanita Indonesia.
kisah-sejati 
Hidup Rukun dengan
Saudara Tiri
Namaku Sidik Kadarsyah, anak pertama dari 2 bersaudara. Tapi kalau di total sih aku anak ke 4 dari 10 bersaudara, karena Mimih (panggilan untuk ibu), Massetiawati menikah tidak hanya sekali. Sebelum menikah dengan Mastur Djamil bapakku, Mimih sudah pernah menikah dan punya 3 anak yakni Sukra, Karmini dan Ceceh.
Terus terang, walaupun aku berasal dari keluarga yang broken home karena Mimih dan Bapak harus bercerai, tapi aku dan adikku bisa hidup dengan bahagia dan rukun.
Mimih dan Bapak bercerai ketika aku masih kecil, sekitar 3 atau 4 tahun. Tidak merasakan kasih sayang orang tua dengan utuh, itulah kenapa aku sangat mengidolakan figur Mimih. Buatku pribadi,  Mimih adalah segalanya karena dia bisa menjadi ibu sekaligus bapak.
 Diejek karena Tak Ada Bapak

Untuk bertahan hidup dan mencukupi segala kebutuhan keluarga, Mimih bekerja apa saja. Mulai dari jual pakaian, jual makanan hingga berjualan jamu keliling. Aku pun ikut membantu Mimih dengan berjualan makanan. Itu aku lakukan ketika SMP. Usai salat subuh, aku berjualan nasi lengko, makanan khas Cirebon ke petani tebu saat sedang menunggu jemputan yang akan membawanya ke kebun tebu. Jam 6, aku pulang ke rumah karena harus menyiapkan diri untuk pergi sekolah.
Alhamdulillah, Mimih bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan adik. Sampai akhirnya adik bekerja dan aku memutuskan merantau ke Jakarta usai lulus SMA. Tidak sia-sia Mimih banting tulang, karena dia bisa menjadikan anak-anaknya sukses. Padahal waktu itu susahnya minta ampun, apalagi buat bayar uang sekolah. Walaupun jamannya murah, tapi tetap mengalami kesulitan saat mencari uang. Sakit ketika bekerja adalah hal normal bagi Mimih.
Meski tanpa kehadiran Bapak, kehidupanku sangatlah bahagia. Yah walaupun dalam pergaulan sering mendapat ejekan dari teman-teman. Di desa itu, anak yang orang tuanya tidak lengkap, akan dilihat kurang bagus dan mendapat ejekan terus. Apalagi waktu itu aku menimba ilmu di sekolah agama, yakni Ibtidaiyah, Mts hingga Aliyah. Seringkali diejek, ‘Yah, si Sidik mah kalau gede nanti paling juga jadi tukang berkat (berkat adalah makanan dalam keranjang, yang dibagikan kepada seluruh tamu usai menghadiri satu pengajian di rumah warga) karena dia kan sekolahnya di Ibtidaiyah’. Hehe.. Yah, aku sih menerima saja semua ejekan itu. Tidak dimasukkan dalam hati karena toh kenyataannya tidak seperti itu.
source : tabloid Wanita Indonesia