Menjadi public relations
manager sebuah hotel tak pernah ada dalam kamus hidupnya karena ia
hanya tamatan Aliyah (setingkat dengan SMA) di Cirebon, Jawa Barat.
Siapa sangka jika pria yang mengawali karir sebagai cleaning service
sebuah mall ini sukses menaklukkan Jakarta karena kini, ia menjabat
sebagai PR Manager Hotel Acacia, Jakarta.
“Buatku pribadi, ada kenikmatan tersendiri menjadi PR karena
bisa kenal banyak orang dengan latar belakang yang berbeda dan juga
wawasan ilmu yang tambah banyak. Bagaimana mengcreate satu event pun
menjadi tantangan tersendiri buatku, karena memang sebelumnya tidak
pernah melakukan itu. Apalagi, ilmu tentang PR yang aku miliki ini tidak
didapatkan secara formil, melainkan otodidak dan training yang aku
ikuti,” ungkap Sidik Kadarsyah. Di sela-sela pekerjaannya, ayah 2
anak berbagi pengalaman hidupnya kepada Wanita Indonesia.
Hidup Rukun dengan
Saudara Tiri
Namaku Sidik Kadarsyah, anak pertama dari 2 bersaudara. Tapi
kalau di total sih aku anak ke 4 dari 10 bersaudara, karena Mimih
(panggilan untuk ibu), Massetiawati menikah tidak hanya sekali. Sebelum
menikah dengan Mastur Djamil bapakku, Mimih sudah pernah menikah dan
punya 3 anak yakni Sukra, Karmini dan Ceceh.
Terus terang, walaupun aku berasal dari keluarga yang broken
home karena Mimih dan Bapak harus bercerai, tapi aku dan adikku bisa
hidup dengan bahagia dan rukun.
Mimih
dan Bapak bercerai ketika aku masih kecil, sekitar 3 atau 4 tahun.
Tidak merasakan kasih sayang orang tua dengan utuh, itulah kenapa aku
sangat mengidolakan figur Mimih. Buatku pribadi, Mimih adalah segalanya
karena dia bisa menjadi ibu sekaligus bapak.
| |
Diejek karena Tak Ada Bapak
Untuk bertahan hidup dan mencukupi segala kebutuhan keluarga,
Mimih bekerja apa saja. Mulai dari jual pakaian, jual makanan hingga
berjualan jamu keliling. Aku pun ikut membantu Mimih dengan berjualan
makanan. Itu aku lakukan ketika SMP. Usai salat subuh, aku berjualan
nasi lengko, makanan khas Cirebon ke petani tebu saat sedang menunggu
jemputan yang akan membawanya ke kebun tebu. Jam 6, aku pulang ke rumah
karena harus menyiapkan diri untuk pergi sekolah.
Alhamdulillah, Mimih bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan adik.
Sampai akhirnya adik bekerja dan aku memutuskan merantau ke Jakarta
usai lulus SMA. Tidak sia-sia Mimih banting tulang, karena dia bisa
menjadikan anak-anaknya sukses. Padahal waktu itu susahnya minta ampun,
apalagi buat bayar uang sekolah. Walaupun jamannya murah, tapi tetap
mengalami kesulitan saat mencari uang. Sakit ketika bekerja adalah hal
normal bagi Mimih.
Meski tanpa kehadiran Bapak, kehidupanku sangatlah bahagia. Yah
walaupun dalam pergaulan sering mendapat ejekan dari teman-teman. Di
desa itu, anak yang orang tuanya tidak lengkap, akan dilihat kurang
bagus dan mendapat ejekan terus. Apalagi waktu itu aku menimba ilmu di
sekolah agama, yakni Ibtidaiyah, Mts hingga Aliyah. Seringkali diejek,
‘Yah, si Sidik mah kalau gede nanti paling juga jadi tukang berkat
(berkat adalah makanan dalam keranjang, yang dibagikan kepada seluruh
tamu usai menghadiri satu pengajian di rumah warga) karena dia kan
sekolahnya di Ibtidaiyah’. Hehe.. Yah, aku sih menerima saja semua
ejekan itu. Tidak dimasukkan dalam hati karena toh kenyataannya tidak
seperti itu.
source : tabloid Wanita Indonesia
|